Ketika Indonesia dihantam krisis moneter tahun 1998, keadaan menjadi amburadul, penuh dengan ketidakpastian. Hukum, keamanan, ekonomi, pendidikan dan semuanya menjadi carut marut.
Lemah, lembek dan tidak berdaya. Hanya dengan dua kata: krisis moneter atau dulu top dengan sebutan krismon. Efek yang ditimbulkan cu-kup dasyat, semua bidang terkena imbasnya termasuk pendidikan. Biaya sekolah menjadi sa-ngat mahal, yang pada akhir-nya menimbulkan banyaknya angka siswa putus sekolah. SPP, harga buku dan perlengkapan lainnya menjadi tidak terjangkau. Apalagi bagi mereka yang harus menggunakan sarana transportasi umum untuk mencapai sekolah mereka. Kondisi ini sungguh memberatkan.
Human Development Index dari UNESCO semat menuliskan, tingkat SDM masyarakat Indonesia 5 tahun yang lalu berada di bawah Malaysia, Philipina, Muangthai dan Brunai Darussalam. Ini benar-benar sangat memprihatinkan. Untuk memiliki SDM yang unggul, memang teramat sulit sekali. Mengapa hal ini terjadi? Tak lain karena pendidikan Indonesia yang "amburadul" dan masih jauh dari harapan. Sistem pendidikan di Indonesia masih tertinggal jauh dengan negara-negara tetangga.
Sistem pendidikan yang "amburadul", menjadi sebuah potret buram, Konsekuensi yang terjadi, angka kriminalitas yang meningkat, jumlah pengangguran terus meningkat serta perilaku pemuda yang buruk. Buruknya sistem pendidikan tentunya buka tanpa sebab. Faktor penyebabnya adalah menurunnya moral. Moral yang semestinya didapat dari sekolah, ternyata hanya ada di buku saja. Tanpa adanya aplikasi yang nyata. Guru yang semestinya mendidik siswa, ter-nyata hanya mengajar. Moralitas tidak diprioritaskan. Kalau toh di dalam kurikulum sudah ada mata pelajaran etika dan moral (entah itu PPKn atau yang dulu dikenal PMP), itu hanya sebuah agenda saja.
Nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan dalam Pancasila tidak diaplikasikan nyata dalam hidup. Negara Pancasila yang konon sangat religius telah tercatat sebagai negara terkorup nomor wahid di Asia Tenggara dan nomor 3 dunia. Bukti penurunan moral yang sangat dasyat. Faktor gagalnya pendidikan di Indonesia, juga disebabkan oleh sistem kurikulum yang salah. Kurikulum berkali-kali diubah, dengan harapan agar target pelulusan siswa tercapai. Nyatanya, nilai siswa banyak yang jeblok. Nilai siswa jeblok, kurikulum diganti lagi, hasilnya begitu lagi.
Seringnya kurikulum yang berganti akan membingungkan guru dalam mengajar. Hal tersebut tentu akan berpengaruh terhadap minat siswa dalam hal belajar, sehingga hasil yang dicapai tidak sesuai dengan target yang diharapkan alias jeblok. Apalagi pada era kini konsentrasi guru dan sistem kurikulum kita hanya diutamakan pada mata pelajaran yang bersangkutan langsung dengan Ujian Akhir Nasional, lainnya seolah mendapat tempat di level dua.
Hal tersebut sesungguhnya tidaklah bijak. Lihat saja mata pelajaran seperti PPKn, Pendidikan Agama, Olah …(raga dan rasa) dan lainnya. Semuanya seolah mendapat tempat kedua setelah Matematika, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Guru cenderung “menekan” murid menguasai ketiga materi tersebut. Jika guru terus menekan murid untuk menguasai ketiga pelajaran tersebut saja, lalu untuk apa mata pelajaran yang lain?
Pakar kurikulum dari Universitas Negeri Padang (UNP) menilai, pelaksanaan kurikulum pendidikan di Indonesia masih amburadul karena hingga kini pemerintah hanya disibukkan membenahi dokumen tertulisnya saja. "Perubahan kurikulum di Indonesia kebanyakan hanya menitikberatkan pada perubahan konsep tertulis saja tanpa mau memperbaiki proses pelaksanaannya di tingkat sekolah," kata guru besar Program Pascasarjana UNP, Prof. Dr. Aleks Maryunis.
Ia mengatakan hal itu menyikapi lemahnya kualitas pendidikan di tanah air, ditandai dengan munculnya beragam masalah di dunia pendidikan seperti rendahnya tingkat kelulusan siswa di berbagai daerah serta ketidakmampuan guru melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
Menurut dia, ada empat dimensi dasar kurikulum di Indonesia, yaitu konsep dasar kurikulum, dokumen tertulis, pelaksanaan dan hasil belajar siswa. Di Indonesia, ungkapnya, yang selalu mengalami perubahan dari tahun ke tahun itu hanya dimensi dokumen tertulis berupa buku-buku pelajaran dan silabus saja. Ia mencatat lebih dari enam kali perubahan kurikulum di Indonesia, yaitu pada tahun 1962, 1968, 1975, 1984, 1994 dan yang terakhir adalah KBK.
Perubahan kurikulum yang terlalu sering itu, menurut Aleks, sangat memberatkan orangtua siswa, karena mereka harus selalu membeli buku setiap ajaran baru walaupun perubahannya hanya sedikit. Dari penelitian yang dilakukannya, konsep dasar kurikulum tersebut tidak banyak mengalami perubahan, demikian juga dengan dimensi pelaksanaan di sekolah, sehingga hasil belajar siswa juga tidak mengalami perbaikan.
Terkait pelaksanaan KBK di sekolah, ia menilai guru belum begitu terdidik melaksanakan berbagai perubahan yang dituntut kurikulum bersangkutan. "Masih banyak guru yang tidak mengerti segala hal yang dituntut dalam KBK dan guru hanya melaksanakan proses belajar mengajar seperti biasa," katanya.
Aleks mengatakan, dua aspek yang dituntut dalam KBK dan sering dilupakan guru yaitu aspek afektif (sikap) dan psikomotor (perbuatan). Selain itu, kelemahan guru lainnya yaitu buku pegangan yang sama dengan siswa. Akibatnya ilmu guru tidak banyak berkembang. Akibatnya juga hasil belajar siswa tidak banyak mengalami perubahan. Untuk itu ke depan pemerintah perlu memikirkan perbaikan kualitas guru demi peningkatan pendidikan
http://forum.detik.com/amburadulnya-sistem-pendidikan-indonesia-t44583.html