Liputan6.com, Damaskus : Tak mudah bagi rakyat Suriah menjalankan ibadah puasa Ramadan. Tak sekadar menahan lapar dan haus, sudah 3 tahun mereka terbelenggu perang saudara yang tak kunjung usai. Harta benda melayang, makanan langka, kekerasan demi kekerasan, nyawa yang melayang setiap saat seakan tak ada harganya.
BERITA TERKAIT
Tapi, warga punya cara untuk mengurangi penderitaan mereka. Dengan humor.
Salah satu lelucon populer terkait meriam tradisional yang dulu digunakan untuk menandai waktu imsak dan berbuka puasa.
"Awas! Bukan berarti jika kau melihat suara meriam, itu tandanya buka puasa," demikian lelucon yang beredar, seperti dimuat News.com.au, Jumat (19/7/2013). Sebuah ironi dari kondisi saat ini, saat suara ledakan bom dan mortar terus menerus terdengar di seantero negeri.
Di area-area yang lebih beruntung, yang tak terlalu diwarnai kekerasan, warga masih bisa mendengarmsaharati -- pria yang berkeliling sebelum subuh, membangunkan orang untuk makan sahur dengan tabuhan drum atau rebana. Namun, di wilayah di mana sniper mengintai setiap saat, berondongan peluru terus terjadi, mempertahankan tradisi itu tak mungkin dilakukan.
Lelucon yang lain beredar lewat layanan pesan pendek (SMS). Berupa foto tank yang di atasnya ditumpangi fez, topi tradisional yang dipakai msaharati. Tugas msaharati kini digantikan tank.
"Breaking news!" demikian yang tertulis di sebuah SMS. "Msaharati menghabiskan waktu berjam-jam memukul drumnya, mencoba untuk membangunkan orang untuk sahur. Tapi ketika orang-orang tak mau bangun juga, dia memutuskan untuk meledakkan diri!"
Di Homs sekalipun, di mana pasukan rezim terus melancarkan serangan di titik-titik yang dikuasai pemberontak, pertempuran tak ada akhir, penduduk masih bisa mempertahankan rasa humor mereka.
Ada juga humor miris yang berusaha menertawakan kelangkaan makanan. "Tak berat untuk menjalani puasa Ramadan... Yang berat adalah menemukan makanan untuk berbuka puasa," kata seorang pemuda Suriah dalam akun facebook-nya.
Kondisi Suriah yang masih tak menentu, secara ekonomi dan keamanan, membuat masyarakat harus berhemat. Tak lagi membeli gula-gula dan manisan lezat untuk menu berbuka.
Padahal, dulu, saat damai masih ada di Suriah, kedai manisan dan minuman sari asam ramai dikunjungi pembeli.
Salah satunya kedai milik Abu Adnan, yang menjual minuman dan manisan lezat -- dari bahan-bahan seperti kacang pistachio, kacang pinus, madu, lemon, dan air mawar. Makin sedikit pembeli yang mampir.
Namun bukan berarti semua gelap di Suriah. Masih ada orang-orang baik, yang merelakan harta benda menolong sesama. Para aktivis tak kenal lelah menggelar kampanye bertajuk "Mari melawan kelaparan".
Para pemilik restoran dan toko menawarkan makanan berharga murah -- makan malam seharga bahan yang digunakan untuk membuatnya, tanpa mengambil untung, bagi mereka yang membutuhkan.
Rakyat ingin bangkit. Segala kerusakan, puluhan ribu nyawa yang melayang, jutaan yang mengungsi di negara lain, sudah cukup!
"Ini bukan lagi soal pro atau anti-rezim," kata Abdullah, warga berusia 32 tahun yang bekerja sebagai akuntan di ibukota Damaskus.
"Orang-orang kini hanya ingin hidup." (Ein/Sss)
Lalu bagaimana dengan kita muslim di Indonesia yang sudah merasa sempurna
dengan puasanya....padahal di negeri lain
Suriah, Palestina, Iraq dan Afganistan
muslimnya betul - betul diuji
puasanya, keimanan dan
kesabarannya......Ampuni kami Ya Allah yang selama ini
merasa puasanya sudah sempurna ....