Rekayasa Pendidikan di Indonesia
Posted: 6 April 2011 in OPINI
0
*Oleh: Ria Fitriani (MPKPK HMI Psikologi UMM)
Terbayangkah kita tentang bagaimana menjadi seseorang yang pintar namun sesungguhnya kepintaran kita adalah hasil rekayasa publik yang sama sekali tak ada gunanya, selama kita masih bisa membaca, menulis, dan menghafal teori-teori tentang ilmu yang kita pelajari maka kita akan dianggap pintar, namun sadarkah kita bahwa sesungguhnya hegemoni politik bermain dalam sistem pendidikan di negara ini, yang nyata-nyatanya mendapat peringkat 38 dari 39 negara pada pendidikan setingkat SD, matematika tingkat SLTP mendapat rangking 39 dari 42 negara, kemudian IPA hanya mendapati peringkat 40 dari 42 negara peserta yang mengikuti tes yang diadakan oleh International Educational Achievement(IEA). Peserta didik hanya dibiarkan berkutat pada teori namun tak pernah ditunjukkan fenomena yang sesungguhnya terjadi.
Sebenarnya di Indonesia ini banyak pelajar yang pintar buktinya pada masa pemerintahan BJ. Habibie dulu sempat berlangsung pertukaran pelajar antar negara, namun itu pun tak berlangsung lama. Politik kembali merenggut kesempatan anak bangsa untuk “dipintarkan”. Tentu kita pernah mengalami pergantian sistem pendidikan dari kurikulum 45, lalu menjadi KBK, sekarang bahkan maraknya sistem Akselerasi. Apakah semua itu effektif, justru terkesan mencoba-coba, apalagi dengan sekolah Akselerasi yang digunakan sekarang. Negara maju seperti Amerika malah sudah lama meninggalkannya, karena dari hasil penelitian ternyata siswa hasil akselerasi malah tidak matang baik dari segi pelajaran maupun psikis, mereka yang harusnya memiliki kematangan secara bertahap dan sesuai urutannya malah disuruh melompat dari tahap perkembangannya, akibatanya banyak siswa yang stress dan tidak siap menghadapi tekanan yang memang dari tahap perkembangannya belum saatnya dijalani. Indonesia terkesan membanggakan hal yang belum pasti kebenarannya.
Partisipasi rakyat justru dimatikan dengan adanya UU sisdiknas tahun 2003 yang terkesan memihak penguasa, harusnya yang menjadi hak rakyat dalam menentukan kebebasan beragama justru menjadi ambigu ketika dominasi satu agama saja yang berperan, sehingga peserta didik secara tidak langsung dicekoki dengan doktrin-doktrin tertentu, harusnya sekolah menjadi dasar pengenalan kultur yang ada di Indonesia, bagaimana menyikapi perbedaan yang ada, dan media penanaman nilai selain dari keluarganya. Namun peran pendidikan kini beralih menjadi ladang penghidupan bagi agama yang mendominasi juga bagi “Penguasa”.
Pendidikan selain menjadi ladang pencapaian ideologis juga beralih fungsi sebagai penunjang ekonomi bagi sang “Penguasa”. Maraknya sekolah bertaraf internasional justru tak malah meningkatkan mutu peserta didik, tapi semakin menurun karena ternyata ada pergerakan lain yang berkedok peningkatan taraf pendidikan itu, biaya pendidikan justru semakin meningkat saat rakyat justru sedang terkungkung oleh faktor ekonomi lemah. Sebuah politik ekonomi tepatnya,stakeholder menyesuaikan aturan tentang pendidikan sesuai selera hatinya bukan untuk mempermudah dan memintarkan anak bangsa.
Kebenaran akan pendidikan jadi ambigu karena seringnya disamarkan oleh kepentingan tertentu, harusnya peserta didik mampu mengaplikasikan dan mengenal fakta dari teori yang telah diberikan, bukannya malah tidak dirangsang sama sekali menjadi pribumi yang tak peka terhadap kondisi tanah yang dipijaknya saat ini, tak mengenal aturan nilai dan keberagaman yang dislogankan dengan Bineka Tunggal Ika.
Selain itu media yang diharapkan menjadi fasilitator untuk kemajuan pendidikan sendiri, sekarang malah sangat tidak mendidik siarannya terutama televisi. Menurut Kak Seto tayangan televisi yang benar-benar menampilkan pendidikan hanya bekisar 0,1% tak sampai satu persen malah selebihnya adalah hiburan dan perilaku agresifitas yang paling banyak dimunculkan. Bahkan anak sekarang di biarkan berkembang sebelum waktunya, dengan tak adanya lagu untuk anak-anak, tayangan televisi yang hampir 80% berisi sinetron, ini adalah akselerasi dari kedewasaan sendiri yang malah tak menghasilkan kematangan intelektual dan emosi. Kemana wajah pendidikan di Indonesia hari ini?
Jika dirunut lagi ternyata Indonesia kekurangan anggaran untuk program Pendidikan. Kemana perginya anggaran dana 20% dari anggaran belanja negara, yang idealnya dialokasikan untuk pendidikan. Tak pernah sampai 20% nyatanya, realitas yang tak pernah singkrons dengan harapan ideal, itulah cerminan pendidikan di Indonesia hari ini. Ladang subur yang gersang.
diambil dari sumber:
http://asyshihab.wordpress.com/2011/04/06/rekayasa-pendidikan-di-indonesia/
Terbayangkah kita tentang bagaimana menjadi seseorang yang pintar namun sesungguhnya kepintaran kita adalah hasil rekayasa publik yang sama sekali tak ada gunanya, selama kita masih bisa membaca, menulis, dan menghafal teori-teori tentang ilmu yang kita pelajari maka kita akan dianggap pintar, namun sadarkah kita bahwa sesungguhnya hegemoni politik bermain dalam sistem pendidikan di negara ini, yang nyata-nyatanya mendapat peringkat 38 dari 39 negara pada pendidikan setingkat SD, matematika tingkat SLTP mendapat rangking 39 dari 42 negara, kemudian IPA hanya mendapati peringkat 40 dari 42 negara peserta yang mengikuti tes yang diadakan oleh International Educational Achievement(IEA). Peserta didik hanya dibiarkan berkutat pada teori namun tak pernah ditunjukkan fenomena yang sesungguhnya terjadi.
Sebenarnya di Indonesia ini banyak pelajar yang pintar buktinya pada masa pemerintahan BJ. Habibie dulu sempat berlangsung pertukaran pelajar antar negara, namun itu pun tak berlangsung lama. Politik kembali merenggut kesempatan anak bangsa untuk “dipintarkan”. Tentu kita pernah mengalami pergantian sistem pendidikan dari kurikulum 45, lalu menjadi KBK, sekarang bahkan maraknya sistem Akselerasi. Apakah semua itu effektif, justru terkesan mencoba-coba, apalagi dengan sekolah Akselerasi yang digunakan sekarang. Negara maju seperti Amerika malah sudah lama meninggalkannya, karena dari hasil penelitian ternyata siswa hasil akselerasi malah tidak matang baik dari segi pelajaran maupun psikis, mereka yang harusnya memiliki kematangan secara bertahap dan sesuai urutannya malah disuruh melompat dari tahap perkembangannya, akibatanya banyak siswa yang stress dan tidak siap menghadapi tekanan yang memang dari tahap perkembangannya belum saatnya dijalani. Indonesia terkesan membanggakan hal yang belum pasti kebenarannya.
Partisipasi rakyat justru dimatikan dengan adanya UU sisdiknas tahun 2003 yang terkesan memihak penguasa, harusnya yang menjadi hak rakyat dalam menentukan kebebasan beragama justru menjadi ambigu ketika dominasi satu agama saja yang berperan, sehingga peserta didik secara tidak langsung dicekoki dengan doktrin-doktrin tertentu, harusnya sekolah menjadi dasar pengenalan kultur yang ada di Indonesia, bagaimana menyikapi perbedaan yang ada, dan media penanaman nilai selain dari keluarganya. Namun peran pendidikan kini beralih menjadi ladang penghidupan bagi agama yang mendominasi juga bagi “Penguasa”.
Pendidikan selain menjadi ladang pencapaian ideologis juga beralih fungsi sebagai penunjang ekonomi bagi sang “Penguasa”. Maraknya sekolah bertaraf internasional justru tak malah meningkatkan mutu peserta didik, tapi semakin menurun karena ternyata ada pergerakan lain yang berkedok peningkatan taraf pendidikan itu, biaya pendidikan justru semakin meningkat saat rakyat justru sedang terkungkung oleh faktor ekonomi lemah. Sebuah politik ekonomi tepatnya,stakeholder menyesuaikan aturan tentang pendidikan sesuai selera hatinya bukan untuk mempermudah dan memintarkan anak bangsa.
Kebenaran akan pendidikan jadi ambigu karena seringnya disamarkan oleh kepentingan tertentu, harusnya peserta didik mampu mengaplikasikan dan mengenal fakta dari teori yang telah diberikan, bukannya malah tidak dirangsang sama sekali menjadi pribumi yang tak peka terhadap kondisi tanah yang dipijaknya saat ini, tak mengenal aturan nilai dan keberagaman yang dislogankan dengan Bineka Tunggal Ika.
Selain itu media yang diharapkan menjadi fasilitator untuk kemajuan pendidikan sendiri, sekarang malah sangat tidak mendidik siarannya terutama televisi. Menurut Kak Seto tayangan televisi yang benar-benar menampilkan pendidikan hanya bekisar 0,1% tak sampai satu persen malah selebihnya adalah hiburan dan perilaku agresifitas yang paling banyak dimunculkan. Bahkan anak sekarang di biarkan berkembang sebelum waktunya, dengan tak adanya lagu untuk anak-anak, tayangan televisi yang hampir 80% berisi sinetron, ini adalah akselerasi dari kedewasaan sendiri yang malah tak menghasilkan kematangan intelektual dan emosi. Kemana wajah pendidikan di Indonesia hari ini?
Jika dirunut lagi ternyata Indonesia kekurangan anggaran untuk program Pendidikan. Kemana perginya anggaran dana 20% dari anggaran belanja negara, yang idealnya dialokasikan untuk pendidikan. Tak pernah sampai 20% nyatanya, realitas yang tak pernah singkrons dengan harapan ideal, itulah cerminan pendidikan di Indonesia hari ini. Ladang subur yang gersang.
diambil dari sumber:
http://asyshihab.wordpress.com/2011/04/06/rekayasa-pendidikan-di-indonesia/